Artikel ini merupakan terjemahan bebas oleh Siti Rokhmah, M.Pd., M.Sc. dari artikel yang berjudul “Breaking Misconceptions: Rediscovering Women Leadership’s Essence” yang diterbitkan oleh The Jakarta Post (08/03/2024)
Penulis: Sitti Maesuri Patahuddin, Ph.D.
Saat menjelang Hari Perempuan Internasional, saya merenung tidak hanya tentang kesalahpahaman sosial mengenai kepemimpinan perempuan di Indonesia secara luas, tetapi juga terkait pemahaman saya sendiri. Pengalaman pribadi saya selama tinggal di Indonesia menunjukkan bahwa potongan ayat Al-Quran ‘Arrijalu qawwamuna ala nissa’, sering diterjemahkan sebagai “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Hal ini memengaruhi keyakinan saya dan norma-norma sosial yang saya alami, situasi yang sering ditemukan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia. Sebagai perempuan pertama dari Indonesia Timur yang memegang posisi Associate Professor di Bidang Pendidikan STEM di Australia, saya menulis opini ini untuk berargumen bahwa ini bukan hanya sebuah wacana akademis; ini adalah kesaksian pribadi tentang pentingnya menantang dan memeriksa kembali sebuah konsep yang sering disalahartikan tentang kepemimpinan di Indonesia.
Ribuan massa turun ke jalan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional (sumber: bbc.com)
Pandangan awal saya tentang kepemimpinan perempuan, meskipun dengan pencapaian pendidikan tinggi saya, tetap terbatas. Setelah menyelesaikan gelar magister di Indonesia, idealisme saya masih ingin menjadi sebatas seorang istri dan ibu yang baik, mengabdikan sebagian besar waktu saya untuk tanggung jawab rumah tangga. Saya bahkan beberapa kali berniat untuk mengundurkan diri dari pekerjaan akademis saya agar bisa fokus hanya pada keluarga. Meskipun melihat kehebatan kemampuan perempuan dalam menangani isu-isu kompleks, kurangnya teladan perempuan dan keyakinan saya yang dipengaruhi pengetahuan agama bahwa laki-laki memiliki kualitas kepemimpinan lebih tinggi dari perempuan, sungguh membatasi rasa ingin tahu saya tentang peran dan ketidakseimbangan gender.
Melalui eksplorasi akademis dan pribadi, saya belajar bahwa kualitas kepemimpinan tidak spesifik berdasarkan gender tetapi tergantung pada kemampuan dan karakter individu. Tanpa meninggikan gender tertentu, hal ini mendukung hubungan simbiotik antara laki-laki dan perempuan, yang ditentukan oleh peran dan tanggung jawab masing-masing. Pada dasarnya, ini menekankan tanggung jawab dan kepemimpinan moral, melampaui batas gender.
Argumen bahwa kepemimpinan lebih cocok bagi laki-laki karena ketidaksetaraan gender semakin bertentangan dengan bukti empiris. Misalnya, sebuah studi Harvard Business Review menemukan bahwa perempuan sering melampaui laki-laki dalam kompetensi kepemimpinan penting seperti inisiatif, ketahanan, dan kolaborasi. Data ini tidak mengurangi peran kepemimpinan laki-laki tetapi memperjuangkan pemahaman inklusif bahwa potensi kepemimpinan tidak spesifik berdasarkan gender tetapi tergantung pada atribut dan keterampilan individu. Secara lebih luas, ini mendukung keadilan sosial dan kesetaraan untuk seluruh masyarakat.
Penafsiran yang salah tentang kepemimpinan perempuan di Indonesia di mana sekitar 50% penduduk adalah perempuan sangat mempengaruhi masyarakat. Ini memperkuat stereotipe gender dan menghambat kemajuan perempuan pada posisi kepemimpinan, meskipun mereka mampu. Fenomena ini sangat jelas terlihat di sektor pendidikan Indonesia, di mana perempuan menyumbang lebih dari 70% dari guru sekolah dasar (yaitu, 1.060.182 dari 1.473.042 guru sekolah dasar pada tahun 2024), namun kurang dari 5% mencapai peran kepala sekolah. Ketidakseimbangan seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hakikat kesetaraan yang tertanam dalam doktrin agama kita tetapi juga merampas masyarakat dari wawasan kepemimpinan yang beragam.
Untuk merayakan Hari Perempuan Internasional ini, mari kita perluas pengakuan kita di luar tokoh terkenal dan pahlawan nasional seperti Raden Adjeng Kartini atau Cut Nyak Dhien, untuk mengakui banyaknya perempuan teladan di antara kita. Perjalanan pribadi saya dari perspektif konvensional tentang peran perempuan hingga mengakui dan memperjuangkan perempuan dalam posisi kepemimpinan mencerminkan pentingnya mengevaluasi kembali prasangka-prasangka kita. Perubahan ini menegaskan kebutuhan untuk menerima bukti-bukti yang sering kali mengilustrasikan kemampuan kepemimpinan superior perempuan.
Baru-baru ini, saya kehilangan dua perempuan penting dalam hidup saya – ibu dan kakak tertua saya, Nurhaeda – mendorong saya untuk merenungkan peran kepemimpinan mereka yang mungkin tidak dikenali signifikansinya dalam masyarakat di sekitar mereka. Terinspirasi oleh mereka, saya menulis dan menyajikan buku “Jejak Langkahnya: Warisan Abadi Nurhaeda” kepada ratusan warga desa di Sulawesi Selatan. Hal ini sejalan dengan perjalanan saya, menunjukkan bagaimana ketahanan, tekad, dan komitmen terhadap pendidikan dapat menghasilkan kepemimpinan transformasional, terlepas dari gender.
Lahir dalam keluarga besar dengan keterbatasan ekonomi, Nurhaeda berhasil mengatasi hambatan-hambatan sosial dan ekonomi untuk menjadi penopang keluarga dan masyarakatnya, menggambarkan esensi sejati dari kepemimpinan perempuan yang efektif. Dia mencontohkan kepemimpinan ini melalui dukungan tak tergoyahkan terhadap pendidikan ketujuh saudara kandungnya dan keluarga besar mereka, keterlibatannya dalam masyarakat, dan komitmennya profesional. Demikian pula, saya telah memahami implikasi lebih luas dari peran saya di luar batas-batas harapan tradisional.
Naratif Nurhaeda tidaklah tunggal. Di seluruh Indonesia, banyak perempuan menunjukkan kepemimpinan dalam berbagai sektor, seringkali tidak diakui. Dari eksekutif bisnis hingga pengurus organisasi masyarakat, kontribusi mereka sangat penting.
Saat kita merayakan Hari Perempuan Internasional ini, mari kita berkomitmen untuk menciptakan kesempatan bagi perempuan dalam kepemimpinan dan menantang stereotipe yang selama ini menghambat kemajuan mereka. Ini menghormati warisan perempuan seperti Nurhaeda dan meletakkan dasar bagi masyarakat yang lebih adil di mana kepemimpinan didefinisikan oleh kemampuan dan karakter, bukan gender. Sudah waktunya untuk mendefinisikan ulang kepemimpinan, memahami bahwa kekuatan dan arahan adalah kualitas yang melekat pada individu yang menginspirasi dan memimpin dengan penuh keberanian, tanpa memandang gender.
Setiap dari kita memiliki peran dalam menantang dan membentuk stereotipe yang telah tertanam dalam masyarakat kita. Ini dimulai dengan pendidikan dan memupuk pemahaman yang lebih dalam tentang teks-teks agama dalam konteks yang sebenarnya. Para pemimpin masyarakat, pendidik, dan orangtua harus mendorong dialog terbuka yang mempertanyakan dan menghapus bias gender. Pada tingkat kebijakan, inisiatif untuk mempromosikan partisipasi perempuan dalam peran kepemimpinan sangat penting. Kita harus memperjuangkan dan melaksanakan program mentor yang membimbing bakat kepemimpinan perempuan sejak usia dini. Biarkan Hari Perempuan Internasional ini menjadi panggilan untuk bertindak, sebuah komitmen dari masing-masing kita untuk secara aktif mendukung dan menciptakan jalan bagi perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan. – Mungkin – Temukan dan rayakan para Nurhaeda di seluruh negeri.